Selasa, 16 Februari 2010

10 Keajaiban Dunia

Mungkin kita mengetahui tentang 7 keajaiban dunia, tetapi perlu diketahui bahwa semua itu bukanlah hal yang "mutlak benar", mengapa? Karena sesungguhnya dunia kita ini menyimpan berbagai keajaiban-keajaiban lainnya yang mungkin belum pernah kita duga selama ini.

Berikut ini 10 Keajaiban dunia yang harus kamu lihat.

Senin, 15 Februari 2010

Nasionalisme Indonesia Dalam "Ancaman"?

MOMENTUM Kebangkitan Nasional yang dikonstruksi pada tahun 1908 merupakan titik yang sangat signifikan bagi
kemunculan bangunan nasionalisme, kesadaran untuk bersatu, serta menyatukan keinginan bersama untuk merekatkan
elemen-elemen yang berbeda dalam satu naungan negara-bangsa yang bernama Indonesia.
Dari momentum Kebangkitan Nasional 1908 tersebut, paling tidak terdapat dua faktor yang sangat signifikan bagi
investasi Indonesia. Pertama, pemuda yang menunjukkan peran dan eksistensinya secara jelas untuk menjadi lokomotif
perubahan yang heroik bagi tercapainya kemerdekaan dan perjalanan kenegaraan serta kebangsaan Indonesia
pascakemerdekaan.

Pada konteks tersebut, semakin menegaskan bahwa pemuda memiliki posisi strategis dalam menggerakkan perubahan
dan menciptakan sejarah baru bangsa ini atau paling tidak menjadi trend setter sejarah Indonesia. Hampir seluruh
sejarah yang tercipta di negeri ini� dilakukan atas peran serta pemuda, seperti gerakan 1908, 1928, 1945, 1966, hingga
1998. Fenomena tersebut sekaligus menunjukkan betapa signifikannya keberadaan pemuda dalam konteks
keindonesiaan.

Dari gugusan sejarah Indonesia yang jangan pernah dilupakan adalah bahwa kontribusi terbesar terbentuknya sejarah
Indonesia karena adanya komitmen dan kesadaran yang tulus melalui peran pemuda di masa lalu. Namun, kita tentu
tidak berharap bahwa roda sejarah harus terhenti karena pemuda Indonesia hari ini kehilangan vitalitas ekspresi
perannya dalam perubahan keindonesiaan, menghadapi tantangan kesejarahan yang semakin berat, dengan
kecenderungan sosial yang semakin masif dan dinamis.

Kedua, dari lembaran sejarah Indonesia berikutnya, secara faktual tertoreh kontribusi daerah-daerah dalam proses
terbentuknya dan terpeliharanya konstruksi nasionalisme Indonesia. Melalui peran, komitmen, dan kesadaran yang tulus
dari daerah, bingkai persatuan dan kesatuan nasional, dalam kerangka mewujudkan kemerdekaan dan memaknai arti
kemerdekaan, sebagai pijakan bagi pembangunan bangsa yang menghimpun secara harmonis elemen-elemen daerah,
dalam tujuan dan cita-cita bersama: memajukan Indonesia, dapat disepakati, dan diimplementasikan secara bersama.
Komitmen dan ketulusan daerah dalam proses terbangunnya bangsa ini sangat tidak pantas untuk dipertanyakan
kembali. Goresan tinta sejarah bangsa ini teramat berarti bagi komponen bangsa ini, terutama daerah. Eksistensi daerah
saat ini tengah menampakkan keceriaannya, setelah sebelumnya tampak kusam akibat paradigma kekuasaan masa lalu,
yang memersepsi lahan sosial Indonesia dalam bingkai homogenisasi.

Pola tersebut selanjutnya menempatkan entitas daerah dengan segala bentuk, simbol, dan aktivitasnya sebagai sebuah
ancaman bagi ikatan nasionalisme atau integrasi nasional. Mungkin penerapan kebijakan homogenisasi tersebut
dianggap tepat, lantaran paham kedaerahan yang sempit terbukti di banyak negara menimbulkan persoalan yang
berimplikasi bukan saja pada ancaman persatuan dan kesatuan nasional, namun juga terjebak dalam konflik sosial
antaretnis berkepanjangan, yang pada akhirnya memorak-porandakan bangunan sejarah suatu bangsa.

Namun, fenomena daerah setelah beberapa waktu berjalan dapat menikmati "kebebasannya" dari kooptasi sentralisasi
yang berlangsung dalam rentang waktu yang cukup panjang, nyatanya belum berada dalam posisi yang kondusif. Kerap
dalam beberapa peristiwa, masih didapatkan kecenderungan yang mempertentangkan pusat dan daerah. Sehingga
muncul kecenderungan dekonstruksi nasionalisme bukan reformulasi nasionalisme yang menawarkan wajah
nasionalisme yang lebih baik.

Mungkin juga fenomena tersebut sebagai akibat apresiasi dan kepentingan daerah yang belum terakomodasi dalam
ruang yang semestinya. Sehingga kecenderungan-kecenderungan mengurangi dominasi kekuasaan pusat atas daerah
tak bisa dihindari. Hanya, memang dalam beberapa hal, kerap dipandang melebihi takaran yang seharusnya.
Peringatan Kebangkitan Nasional tahun ini (2006), idealnya mampu mengantarkan komponen bangsa ini pada
kontemplasi terhadap eksistensi nasionalisme yang tengah berada dalam ancaman. Nasionalisme kita yang tengah
berada dalam ancaman, paling tidak diindikasikan semakin panjangnya deretan persoalan kebangsaan, seperti besarnya
utang luar negeri, fenomena memudarnya rasionalitas dan praktik kriminalitas sosial yang terus diperagakan dalam lahan
sosial Indonesia sehingga muncul sebutan Republic of Horor atau Republic of Fear, menuntut Indonesia untuk memiliki
apa yang disebut nasionalisme baru atau paling tidak merevitalisasi nasionalisme kita yang sesungguhnya dibutuhkan
bangsa ini agar menjadi sebuah keniscayaan.

Langkah ini barangkali bisa menjadi salah satu alternatif, yang mampu memberikan sumbangan penting untuk turut
meminimalisasi pesimistis yang melanda sebagian besar warga negara, agar menempatkan kembali nasionalisme
sebagai sesuatu yang dipahami bersama dalam berbangsa dan bernegara serta mempertahankan nasionalisme dari
implikasi negatif globalisasi politik dan ekonomi.

Nasionalisme baru yang hendak ditumbuhkan, selain didorong kecenderungan adanya dekonstruksi berbagai hal, pada
sisi lain dalam konteks keidealan, Indonesia memang belum menemukan bentuk nasionalisme yang "konkret", selalu
berada dalam tahapan "pencarian bentuk" (metamorfosis).

Dalam pergumulan wacana seputar nasionalisme sejumlah ahli, semisal Cornelis Lay, mengungkapkan posisi
nasionalisme yang terimpit oleh dua kekuatan mahabesar: globalisasi dengan logika dan asumsi-asumsi universalitas,
uniformitas, dan sentralisasinya dengan etno-nasionalisme yang berjalan ke arah sebaliknya.

Di tengah impitan arus besar tersebut, nasionalisme baru Indonesia mestinya memiliki cita-cita bersama yang
dirumuskan dalam good society, dengan memaknai masa lalu dan merumuskan masa depan dalam kesatuan gerak
masa kini. Alangkah baiknya, untuk menopang proyeksi tersebut, mempertajam apa yang disebut prinsip
kewarganegaraan (citizenship), yang memiliki daya seduksi yang sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas
dan umat manusia atas persamaan.

Mengapa citizenship layak mendapat perhatian dalam kerangka memperkuat nasionalisme kita? Paling tidak, citizenship
merepresentasikan kehendak untuk mengusung partisipasi kualitatif masyarakat, untuk mencapai civil society. Barangkali
kita akan sepakat bahwa tidak ada satu pun negara maju yang tidak berlandaskan masyarakat yang kualitatif dalam
segala hal. Pun lantaran kewarganegaraan layak dimengerti sebagai jantung dari konsep nasionalisme.

Dengan demikian, semestinya mulai hari ini dan ke depan, kita harus kembali membenahi anyaman sejarah bangsa yang
terkoyak di beberapa bagian. Membangun kembali keindahan sejarah melalui jalinan harmonis seluruh kekuatan bangsa,
termasuk elemen-elemen daerah. Upaya mengonstruksi keindonesiaan kita yang lebih baik merupakan sesuatu yang
sangat mungkin, seperti yang pernah dibuat pada tahun 1908, yang mampu mengumandangkan ikrar kebangsaan yang
menjadi embrio kebangkitan nasional, dengan kekuatan nasionalisme kita.***

Oleh: Oleh Ir. H. M.Q. ISWARA
Penulis, Ketua Forum Musyawarah Masyarakat Jawa Barat (Format Jabar) dan Ketua DPP KNPI.
sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/052006/22/selisik/utama02.htm

Sabtu, 13 Februari 2010

Bendera Merah Putih

Bendera nasional Indonesia adalah sebuah bendera berdesain sederhana dengan dua warna yang dibagi menjadi dua bagian secara mendatar (horizontal). Warnanya diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih.

Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.

Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.

Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama kali digunakan oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di bawah kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka dan mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional.

Sang Saka Merah Putih merupakan julukan kehormatan terhadap bendera Merah Putih negara Indonesia. Pada mulanya sebutan ini ditujukan untuk bendera Merah Putih yang dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, saat Proklamasi dilaksanakan. Tetapi selanjutnya dalam penggunaan umum, Sang Saka Merah Putih ditujukan kepada setiap bendera Merah Putih yang dikibarkan dalam setiap upacara bendera.

Bendera pusaka dibuat oleh Ibu Fatmawati, istri Presiden Soekarno, pada tahun 1944. Bendera berbahan katun Jepang (ada juga yang menyebutkan bahan bendera tersebut adalah kain wool dari London yang diperoleh dari seorang Jepang. Bahan ini memang pada saat itu digunakan khusus untuk membuat bendera-bendera negara di dunia karena terkenal dengan keawetannya) berukuran 276 x 200 cm. Sejak tahun 1946 sampai dengan 1968, bendera tersebut hanya dikibarkan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI. Sejak tahun 1969, bendera itu tidak pernah dikibarkan lagi dan sampai saat ini disimpan di Istana Merdeka. Bendera itu sempat sobek di dua ujungnya, ujung berwarna putih sobek sebesar 12 X 42 cm. Ujung berwarna merah sobek sebesar 15x 47 cm. Lalu ada bolong-bolong kecil karena jamur dan gigitan serangga, noda berwarna kecoklatan, hitam, dan putih. Karena terlalu lama dilipat, lipatan-lipatan itu pun sobek dan warna di sekitar lipatannya memudar.

Setelah tahun 1969, yang dikerek dan dikibarkan pada hari ulang tahun kemerdekaan RI adalah bendera duplikatnya yang terbuat dari sutra. Bendera pusaka turut pula dihadirkan namun ia hanya 'menyaksikan' dari dalam kotak penyimpanannya.

Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk Indonesia.

Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah.

Jumat, 12 Februari 2010

Citra Kepaskibraan: Bagian 4

Citra Paskibra/Etika Disiplin Paskibra


Kali ini kita akan membahas citra ke-Paskibraan yang kedua yang harus dimiliki oleh seorang anggota Paskibra yaitu Citra Etika Disiplin Paskibra atau biasa Saya sebut dengan citra paskibra.


Dalam buku Panduan Paskibra Sekolah Kota Tangerang-Propinsi Banten tahun 2005, dijelaskan bahwa maksud dari pembentukan Paskibra Sekolah adalah sebagai usaha baru dalam rangka menggalakkan Ketahanan Sekolah sebagai perwujudan dari Wawasan Wiyata Mandala, sehingga menimbulkan persatuan dan kesatuan diantara sekolah demi terwujudnya Ketahanan Nasional.


Secara lengkap hal ini telah Saya bahas dalam buku Paskibra terdahulu. Nah, dari maksud dan juga cita-cita yang telah diterangkan dalam buku panduan tersebut, kita mencoba untuk menggali makna yang terkandung di dalamnya secara lebih mendalam.


Seperti diketahui bersama bahwa seorang Paskibra tentunya terikat dengan Ikrar Putera Indonesia, yang sebenarnya juga merupakan manifestasi dari cita-cita Paskibra itu sendiri akan menjadikan seorang Paskibra tampil dengan ‘pakaian’ citra ke-Paskibraannya.


Lalu bagaimana citra ke-Paskibraan itu dapat diwujudkan? Citra ke-Paskibraan dapat terwujud melalui tampilan disiplin dalam Peraturan Baris Berbaris, ditegakkannya Peraturan Urusan Dalam Paskibra Sekolah, serta menghormati kode etik yang ada di dalam Paskibra Sekolah itu sendiri. (Semuanya telah dibahas di buku Paskibra terdahulu, buat yang belum memiliki... sabar aja yaa!).


Citra ke-Paskibraan ini harus ditunjukkan oleh seorang Paskibra dalam lingkungan Paskibra itu sendiri. Citra ini dapat diperlihatkan dihadapan para guru, senior, pembina, dewan penasehat, dsb., yang memang terlibat dalam urusan ke-Paskibraan secara langsung (praktek atau pun teori). Setiap peraturan harus ditegakkan, disiplin diterapkan tanpa pandang bulu, dan setiap hal yang terkait dengan toleransi harus dibatasi sesuai dengan situasi yang dilalui. Dengan demikian, apa yang menjadi maksud dan cita-cita dari pembinaan pendidikan dan pelatihan Paskibra dapat tercapai dengan terwujudnya Paskibra-paskibra yang benar-benar dapat mengaplikasikan pendidikan dan citra Paskibra tersebut.


IKRAR PUTERA INDONESIA

Aku mengaku putera Indonesia, dan berdasarkan pengakuan ini:

Aku mengaku bahwa aku adalah makhluk Tuhan Al-Khalik Yang Maha Esa dan bersumber pada-Nya.

Aku mengaku bertumpah darah satu, Bangsa Indonesia.

Aku mengaku berjiwa satu, Jiwa Pancasila.

Aku mengaku berbudaya satu, Budi Daya Bahasa Indonesia.

Aku mengaku bernegara satu, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Aku mengaku bertujuan satu, Masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila sesuai dengan isi Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

Aku mengaku bercara karya satu, Perjuangan besar dengan akhlak dan ikhsan menurut Ridha Tuhan Yang Maha Esa.

Berdasarkan pengakuan-pengakuan ini, dan demi kehormatanku aku berjanji akan bersungguh-sungguh menjalankan kewajibanku untuk mengamalkan semua pengakuan ini dalam karya hidupku sehari-hari.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati niatku ini, dengan taufik dan hidayah-Nya serta inayah-Nya.

* * *


Dari ikrar di atas, sebenarnya seluruh citra ke-Paskibraan telah tercakup di dalamnya. Ikrar tersebut menerangkan bagaimana seorang Paskibra harus mendisiplinkan diri terhadap apa yang telah diikrarkan (citra ke-Paskibraan); seorang Paskibra harus senantiasa bangga terhadap tumpah darahnya, Indonesia (citra ke-Indonesiaan); seorang Paskibra harus senantiasa percaya kepada Tuhan YME (citra ke-Islaman); seorang Paskibra harus mampu membangun masyarakat adil dan makmur (citra Personality); dan seorang Paskibra juga harus mampu menjaga kehormatannya dengan menjalankan kewajibannya sebagai anggota Paskibra (citra Akuntabilitas).


Wah...wah... semua udah terkumpul jadi satu tuch..., dalam satu ikrar yakni Ikrar Putera Indonesia. Pada dasarnya, untuk citra ke-Paskibraan ini semua sudah dibahas koq... di awal-awal pelajaran Paskibra, jadi cukup dechh! Tapi, masih ada tapinya neeh, biar lebih jelas, secara umum yang harus ditampilkan dalam citra ke-Paskibraan ini adalah:


1. Disiplin dalam menerima pelatihan pendidikan dan pembinaan Paskibra.

2. Mematuhi semua Peraturan Urusan Dalam Paskibra Sekolah.

3. Menjalankan tugas Paskibra yang telah diembankan kepadanya.

4. Bertanggung jawab selama masa Pembinaan dan Pelatihan Pendidikan Paskibra.

5. Menjaga kode etik sesuai dengan aturan yang berlaku.

6. Menampilkan kecakapan kepemimpinan.

7. Menunjukkan prestasi dalam bidang ke-Paskibraan.

Jika secara keseluruhan poin-poin tersebut dijalankan dengan baik, maka citra ke-Paskibraan akan melekat kuat dalam diri seorang Paskibra. Jadi, mulailah lakukan tindakan itu sekarang, terbaik yang bisa kamu lakukan...

Puisi: Puisi Dua

Ingin rasanya kuambil sepotong hatimu
Untuk kugantikan dengan sepotong hatiku
Supaya hati kita satu
Tapi, bagaimana mungkin
Hatimu terlalu putih dan terlalu bening

Puisi: Puisi Satu


Cintaku tak sepanas matahari, memang

Pun tak seindah purnama

Apalagi segemerlap bintang

Cintaku

Cuma setitik debu, tapi

Selalu menempel di dadamu