Rabu, 10 Februari 2010

Cinta: Ilusi dan Kenyataan

ILUSI DAN KENYATAAN

“CINTA adalah anaknya penipuan dan bapaknya ilusi”, tulis seorang intelektual Spanyol, Miguel de Unamuno, dalam The Tragic Sense of Life (1913). Sikap curiga yang diwarnai amarah semacam ini terhadap realitas cinta mungkin dimiliki oleh siapa pun yang dengan tiba-tiba dan tanpa bisa dijelaskan berhenti mencinta orang lain, atau yang pernah dikhianati oleh seseorang yang semula dikiranya menyayanginya.


Dalam agama Hindu, cinta abadi pun dianggap sebagai salah satu aspek dari maya atau ilusi. Dunia ini—dan segala sesuatu yang ada di dalamnya—dibentuk oleh kekuatan kreatif maya, dan demikian pula halnya dengan cinta manusia yang, dalam satu atau lain hal, merupakan keterikatan kita yang paling dalam dan paling rapuh dengan dunia rasa, senantiasa bersentuhan dengan sebuah kesadaran yang sifatnya fana.


Cinta bukanlah sekedar sebuah emosi, melainkan satu sisi kualitas manusia yang, seperti halnya kejujuran dan keberanian, tidak mungkin dihindari. Akibat-akibatnya bisa bersifat sementara atau tak terduga, sekaligus dramatik, kasatmata, dan nyata.


Stedhal, mengumpamakan jatuh cinta sebagai sebuah proses kristalisasi yang mampu mengubah segala hal. “Para pengunjung tambang-tambang di Salzburg”, tulisnya, “terbiasa melemparkan patahan-patahan ranting beku ke kedalaman gua-gua tambang; 2 atau 3 bulan kemudian, saat diangkat, ranting-ranting itu sudah tertutup oleh kristal yang berkilauan”.

Meskipun kristal-kristal itu rapuh, dan imajinasi berperan mengawetkannya, Stedhal menganggap cinta sama sekali bukan sekedar ilusi. Sebaliknya, cintalah satu-satunya realitas, kenyataan: “Jiwalah yang membentuk cintanya, dan ketika ia menemukan cintanya ini dalam darah dan daging, kristalisasi pun dimulai”.


Tahap-tahap awal sebuah kisah kasih sebagian besar bisa dipupuk dengan ilusi, kendati sebagian orang akan meninggalkan euforia awal kisah kasihnya justru karena itu. Bagaimana pun juga, cinta itu lebih dari sekedar “jatuh cinta”. Bisa jadi, cinta bukan sekedar sebuah proses sampingan seperti yang digambarkan oleh Stedhal, melainkan juga disingkirkannya ilusi demi mengenal lebih dalam dan mencintai sifat-sifat manusiawi yang tak sempurna yang masih tersembunyi. Cinta yang tulus dan berpandangan jernih inilah yang, bagi banyak orang, memberikan pengalaman yang paling “nyata” dan abadi dalam hidup.


1 komentar: